Sejarah Program Studi Kriya ISI Yogyakarta: Dari Akar Tradisi Menuju Pusat Inovasi Kriya Kontemporer
Program Studi Kriya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta adalah salah satu institusi pendidikan tinggi seni yang memiliki akar sejarah yang dalam, sekaligus menjadi penggerak utama dalam dinamika perkembangan seni kriya di Indonesia. Keberadaan program ini bukan hanya sebagai tempat pembelajaran keterampilan, tetapi juga sebagai ruang dialektika antara tradisi dan inovasi, antara konteks lokal dan kosmopolitanisme seni global. Untuk memahami kedalaman sejarah dan kontribusi program ini, kita perlu menelusuri jejaknya dari masa kelahiran Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada pertengahan abad ke-20 hingga menjadi bagian penting dari ISI Yogyakarta seperti yang kita kenal sekarang.
Masa Perintisan di ASRI (1950–1970-an): Awal Mula Kriya dalam Dunia Akademik
Cikal bakal Program Studi Kriya bermula dari pendirian Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta pada tahun 1950. ASRI merupakan lembaga pendidikan seni rupa pertama di Indonesia yang didirikan oleh tokoh-tokoh penting seperti Soedarso SP, Hendra Gunawan, dan Affandi. Lahir pada masa pasca-kemerdekaan, ASRI menjadi simbol semangat bangsa Indonesia untuk membangun identitas kebudayaan nasional melalui pendidikan seni. Meskipun pada awalnya ASRI lebih fokus pada seni lukis dan seni murni, semangat untuk mengembangkan ranah seni terapan atau kriya sudah mulai tampak dari pengenalan mata kuliah-mata kuliah dasar keterampilan yang berorientasi pada kerajinan tangan dan eksplorasi material.
Pada masa ini, kriya belum berdiri sebagai disiplin tersendiri, melainkan tersebar dalam berbagai mata kuliah teknik dan keterampilan. Namun, penting dicatat bahwa para dosen dan mahasiswa ASRI mulai menunjukkan minat yang besar terhadap media-material tradisional seperti tekstil, kayu, dan logam, yang kemudian menjadi dasar pemikiran untuk lahirnya Program Studi Kriya di kemudian hari. Kriya pada masa ini lebih banyak digunakan sebagai bagian dari eksperimen artistik dan alat pemahaman terhadap budaya visual Nusantara.
Transformasi Menjadi ISI Yogyakarta (1984): Lahirnya Program Studi Kriya Seni
Tahun 1984 menjadi titik balik penting dalam sejarah pendidikan seni di Indonesia. Tiga akademi seni yang berdiri sendiri—yakni ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), AMI (Akademi Musik Indonesia), dan ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)—digabungkan menjadi satu institusi besar bernama Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Penggabungan ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah dalam menyatukan pendidikan tinggi seni dalam satu institusi yang multidisipliner.
Dalam konteks inilah, Program Studi Kriya Seni secara resmi dibentuk sebagai salah satu program studi di bawah naungan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Pendiriannya dilatarbelakangi oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya kriya sebagai bagian integral dari budaya visual Indonesia, serta kebutuhan untuk mendidik tenaga ahli yang mampu menjembatani antara warisan budaya kriya tradisional dan tantangan industri kreatif masa depan.
Pada tahap awal, Program Studi Kriya ISI Yogyakarta memfokuskan diri pada empat peminatan berbasis material, yakni Kriya Tekstil, Kriya Kayu, Kriya Logam, dan Kriya Keramik. Masing-masing peminatan dikembangkan secara serius dengan pendekatan akademik dan praktik yang seimbang, serta berbasis pada penggalian nilai-nilai budaya lokal. Kriya tidak hanya dilihat sebagai produk keterampilan, tetapi juga sebagai medium ekspresi estetik dan refleksi identitas kebudayaan. Beberapa tahun selanjutnya dibukalah minat utama Kriya Kulit
Penguatan Identitas Akademik dan Eksplorasi Artistik (1990–2000-an)
Memasuki dekade 1990-an hingga awal 2000-an, Program Studi Kriya ISI Yogyakarta mengalami perkembangan yang signifikan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Jumlah mahasiswa meningkat, dosen-dosen muda dengan latar belakang pendidikan dalam dan luar negeri mulai mengisi barisan staf pengajar, dan orientasi program studi semakin kuat ke arah pengembangan kriya sebagai disiplin ilmu dan praktik seni kontemporer.
Pada masa ini, kurikulum Kriya tidak hanya mengajarkan teknik keterampilan, tetapi juga mulai mengedepankan pendekatan konseptual dan riset berbasis konteks. Mahasiswa diajak untuk tidak hanya membuat karya yang “indah” dan “terampil” secara teknis, tetapi juga memiliki kedalaman makna, relevansi sosial, serta keberpihakan terhadap nilai-nilai budaya lokal. Konsep seperti “materialitas”, “sustainable craft”, dan “cultural revival” mulai masuk ke dalam diskursus akademik dan artistik di lingkungan program studi ini.
Program Studi Kriya juga menjadi pelopor dalam pengembangan kriya yang lintas disiplin. Kolaborasi dengan seni rupa murni, desain produk, antropologi, dan sosiologi memperkaya pemahaman terhadap kriya sebagai praktik budaya. Berbagai karya mahasiswa dan dosen mulai tampil dalam pameran nasional maupun internasional, membuktikan bahwa kriya bukan sekadar pelengkap dari seni rupa, tetapi sebuah entitas artistik dan intelektual yang berdiri mandiri.
Kriya dalam Era Industri Kreatif dan Globalisasi (2000–2010-an)
Memasuki era 2000-an, dunia seni kriya dihadapkan pada tantangan dan peluang baru seiring dengan berkembangnya industri kreatif. Pemerintah Indonesia mulai mendorong sektor ekonomi berbasis kreativitas, dan seni kriya menjadi salah satu sub-sektor penting. Program Studi Kriya ISI Yogyakarta merespons dinamika ini dengan melakukan pembaruan kurikulum, mengintegrasikan elemen desain, branding, dan wirausaha dalam proses pembelajaran.
Kriya tidak lagi diposisikan semata sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan, tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk inovasi produk dan nilai tambah ekonomi. Mahasiswa mulai dikenalkan dengan strategi produksi massal skala kecil, pemanfaatan teknologi digital dalam proses desain dan produksi, serta teknik presentasi dan promosi karya secara profesional.
Pada masa ini, banyak alumni Kriya ISI Yogyakarta yang sukses menjadi desainer, pengusaha kriya, kurator, seniman kontemporer, maupun akademisi di dalam dan luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan kriya yang dikembangkan oleh ISI Yogyakarta mampu menjawab kebutuhan dunia kerja sekaligus mempertahankan esensi budaya dan nilai seni yang luhur.
Dekade Terakhir: Digitalisasi, Sustainability, dan Kolaborasi Global
Dalam dekade terakhir (2010–2020-an), Program Studi Kriya ISI Yogyakarta terus bertransformasi untuk menjawab tantangan zaman. Tren global seperti digitalisasi, keberlanjutan (sustainability), dan kesadaran budaya yang inklusif menjadi pijakan baru dalam pengembangan keilmuan kriya. Berbagai riset dan proyek kolaboratif mulai dilakukan, seperti eksplorasi material ramah lingkungan, kriya berbasis limbah industri, kriya digital, hingga pemetaan kriya-kriya tradisional yang hampir punah.
Prodi Kriya juga aktif mengikuti dan menyelenggarakan kegiatan internasional seperti International Craft Biennale, Festival Kriya Asia Tenggara, serta menjalin kerja sama dengan universitas dan komunitas seni dari Jepang, Korea, India, Inggris, dan Australia. Pertukaran pelajar, residensi, serta kolaborasi lintas budaya menjadi bagian integral dari penguatan kapasitas global program ini.
Dalam bidang pengabdian masyarakat, Program Studi Kriya ISI Yogyakarta turut berperan dalam membina perajin lokal di berbagai daerah Indonesia. Dosen dan mahasiswa terlibat dalam pelatihan desain produk, diversifikasi motif, pemanfaatan teknologi tepat guna, serta pengembangan brand lokal yang berbasis kearifan tradisi. Peran ini menjadikan Program Studi Kriya tidak hanya sebagai lembaga akademik, tetapi juga sebagai agen pemberdayaan budaya dan ekonomi masyarakat.
Saat Ini dan Masa Depan: Menjadi Pusat Unggulan Kriya di Asia Tenggara
Kini, Program Studi Kriya ISI Yogyakarta memiliki jenjang pendidikan dari Strata 1 (S1) hingga Strata 2 (S2), serta sedang menyiapkan pengembangan untuk jenjang doktoral (S3) dalam bidang kriya. Fokus keilmuan dan praktiknya semakin luas, mulai dari kriya tradisi, kriya kontemporer, kriya digital, hingga kriya berbasis riset budaya dan lingkungan.
Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, jaringan kerja sama yang luas, serta lingkungan kreatif yang dinamis, Program Studi Kriya ISI Yogyakarta menargetkan diri untuk menjadi pusat unggulan pendidikan dan pengembangan kriya di kawasan Asia Tenggara. Visi ini didukung oleh semangat untuk terus menjaga keseimbangan antara lokalitas dan globalitas, antara warisan dan inovasi, antara keterampilan tangan dan kecerdasan konseptual.
Dalam konteks kebudayaan nasional, Prodi Kriya ISI Yogyakarta memainkan peran strategis sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai kriya Indonesia yang begitu kaya dan beragam. Sedangkan dalam konteks seni kontemporer dunia, program ini hadir sebagai ruang yang terus menantang batas-batas konvensional dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam penghayatan dan penciptaan kriya.